Sindir DPR 'Pengkhianat' Pasca Sahkan UU Cipta Kerja, Cucu Habibie: Dijajah Negara Sendiri Mau Diam?
Cucu mantan presiden ke-3 Habibie, yakni Melanie Subono memberikan kritikan tajam kepada nggota DPR RI karena sudah sahkan UU Cipta Kerja.
Dilansir TribunnewsBogor.com dari Instagramnya, Melanie Subono menyindir para anggota DPR RI ini sebagai pengkhianat bagi rakyat kecil.
Menurutnya, UU Cipta Kerja ini hanya berpihak pada pengusaha, bukan pekerja dan buruh.
Awalnya, Melanie Subono mengunggah sebuah artkel berita yang berjudul 'Omnibus Law Ciptaker, puncak pengkhianatan negara kepada rakyat'
Setuju dengan judul tersebut, anak dari musisi Adrie Subono pun menyindir anggota DPR RI dan mengucapkan selamat tidur.
"Selamat tidur ....
-
Semoga semua orang tidur ber-AC diruang dengan kasur besar yang besok sarapan sudah siap lengkap tersedia dimeja, masuk kerja telat pun tetap terima gaji," tulis Melanie Subono dikutip TribunnewsBogor.com dari Instagram @melanesubono, Rabu (7/10/2020).
"Hai para pengkhianat, tidur tenang semalam? bobo enak? saldo bank aman? dapat proyek baru? mobil baru? sudah panggil kang pijet ke rumah, kan pegel abis miting-miting panjang?," tulis Melanie Subono,
Kemudian, Melanie Subono menyindir soal janji-janji manis anggota DPR RI kepada rakyat yang kini tak dilaksanakan.
Janji-jani manis tersebut menurutnya, hanya terlontar saat akan Pemilihan Legislatif saja.
"Sudah mulai susun pidato untuk mulai pemilihan pemilihan lain kah? apa isinya? membela yang kecil? menuntaskan kasus yang tak pernah selesai?," ujar Melanie Subono.
"Apa slogan kalian kali ini? bekerja untuk yang cilik? sama kayak slogan-slogan yang bertebaran pas Pil-pil lain?," tulis Melanie Subono lagi.
Alasan Melanie Subono vokal menuliskan cuitannya tersebut pun diungkapkan secara blak-blakan. Habibie dan Melanie Subono (Instagram @melaniesubono)
Sudah mengawal kasus ini cukup lama, Melanie mengaku patah hati dengan disahkannya RUU Cipta Kerja.
"Gue udah mengawal omnibus law ini dari lama, bukan pas pengesahan ini," kata Melanie Subono dilansir dari Grid.ID, Rabu (7/10/2020).
"Tapi ya kayak orang patah hati tahu gak sih, Gue udah gak bisa komen apa-apa lagi pada dasarnya," sambungnya.
Melanie Subono pun menilai masyarakat bisa menilai sendiri jika menilik keberpihakan pemerintah.
Terlebih pengesahan Omnibus Law ini disahkan secara diam-diam.
"Sudah terbukti berarti orangnya seperti apa. Sekala prioritasnya sudah terbukti apa yang di atas apa yang di bawah. Dan lagi lagi dilakukan dengan sembunyi-sembunyi," tuturnya
"Kalau melakukan sesuatu yang jelas sangat open. Kalau sembunyi-sembunyi ya begitu dikira-kita aja sendiri," tambahnya.
Melanie sendiri menolak UU Cipta Kerja tersebut. Karena menurutnya, tanpa ini pun masyarakat bawah sudah cukup kesulitan.
Selain memang alasan historis juga para pahlawan yang berjuang melawan penjajah.
"Kenapa perlu bersuara? Karena kita setengah mati punya pahlawan dulu yang pengin membebaskan kita dari penjajah. Kok kita dijajah bangsa sendiri kita mau diem?" tegasnya
"Masyarakat tanpa diketok palu aja udah serba susah dengan ada pandemi segala macem. Yang keimbas tuh masyarakat bawah bukan mereka yang ada AC dan tidur enak," imbuhnya.
Diketahui bersama DPR telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada Senin (5/10/2020).
Pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021.
Pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law mendapat banyak sekali penolakan dari berbagi elemen masyarakat.
UU Cipta Kerja Omnibus Law dinilai membawa dampak buruk bagi tenaga kerja. Salah seorang mahasiswa saat berorasi dalam aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja di halaman Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Rabu (7/10/2020).(KOMPAS.COM/DENDI RAMDHANI) (Kompas.com)
Apa Dampak UU Cipta Kerja OImnibus Law bagi buruh ?
Simak penjelasannya berikut ini seperti TribunnewsBogor.com melansir dari Kompas.com.
1. Kontrak tanpa batas (Pasal 59)
UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
2. Hari libur dipangkas (Pasal 79)
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas.
Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3. Aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88)
UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.
Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.
Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
4. Sanksi tidak bayar upah dihapus (Pasal 91)
Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.
5. Hak memohon PHK dihapus (Pasal 169)
UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.
Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.
Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.
Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.
Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.(*)
Artikel ini telah tayang di tribunnewsbogor.com