Di Posisi Ke-7, Utang Indonesia Tembus Rp 5.940 Triliun, Staf Khusus Menkeu: Masih Aman dan Terjaga
Di tengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, masalah keuangan nasional menjadi fokus pemerintah untuk ditangani.
Termasuk dengan permasalahan utang luar negeri yang terus menjadi perhatian publik belakangan ini.
Utang Indonesia ke luar negeri santer dibicarakan publik di tengah gelombang penolakan UU Cipta Kerja dan pandemi Covid-19.
Dikutip TribunPalu.com dari Kontan.co.id, Bank Dunia telah merilis laporan berjudul 'International Debt Statistics 2021'.
Catatan itu menunjukkan jumlah utang luar negeri Indonesia sampai tahun 2019, sebesar US$ 402,08 miliar atau sekitar Rp 5.940 triliun.
Angka ini tumbuh 5,9 persen dibanding posisi tahun lalu yang sebesar US$ 379,58 miliar atau sekitar Rp 5.608 triliun.
Sri Mulyani - (Tribunnews.com)

Dengan jumlah itu, Indonesia masuk dalam daftar 10 negara yang berpendapatan kecil-menengah dengan utang luar negeri terbesar di dunia.
Lebih tepatnya Indonesia berada di peringkat ketujuh setelah China, Brasil, India, Rusia, Meksiko, dan Turki.
Sementara Argentina berada di posisi delapan, disusul Afrika Selatan, dan terakhir Thailand.
Dalam laporan Statistik Utang Internasional itu, merinci besaran utang 10 negara berpendapatan kecil-menengah dengan utang terbanyak sebagai berikut. China US$ 2,1 triliun Brasil US$ 569,39 miliar India US$ 560,03 miliar Rusia US$ 490,72 milar Meksiko US$ 469,72 miliar Turki US$ 440,78 miliar Indonesia US$ 402,08 miliar Argentina US$ 279,30 miliar Afrika Selatan US$ 188,10 miliar Thailand US$ 180,23
Utang Indonesia masih aman
Menyikapi hal ini, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin menyatakan utang pemerintah Indonesia masih aman dan terjaga.
Sebab, data yang dirilis tersebut adalah total utang luar negeri, termasuk dari pihak swasta.
Masyita Crystallin menyampaikan perkembangan terakhir soal porsi utang valas per 31 Agustus 2020, masih terjaga di level 29 persen.
Itu artinya, risiko nilai tukar lebih bisa dikelola dengan baik.
Kepala Ekonom Bank DBS Indonesia Masyita Crystallin (kiri) bersama Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya (kanan) memberi paparan pada acara KATADATA Outlook 2020 yang bertemakan 'Economic and Political Outlook' di Jakarta, Selasa (26/11/2019). (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)
"Sehingga kalau melihat dari sisi porsi utang pemerintah saja, dalam jangka panjang risiko fiskal kita masih terjaga karena beberapa alasan. Rata-rata utang pemerintah merupakan utang jangka panjang," ujar Masyita Crystallin saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Rabu (14/10/2020).
Ia juga menyampaikan beberapa strategi pemerintah untuk mengelola utangnya.
"Untuk memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang, kita juga melakukan strategi aktif meliputi buyback, debt switch, dan konverensi pinjaman," jelas Masyita Crystallin.
Sementara, dilihat dari profil jatuh tempo utang Indonesia juga cukup aman dengan average time maturity (ATM) yakni 8,6 tahun per Agustus 2020, dari 8,4 tahun dan 8,5 tahun pada 2018 dan 2019.
Ia menjelaskan bahwa manajemen dilakukan dengan baik dan mendalami pasar keuangan.
"Selain, secara umum tetap dilakukan manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo dan pendalaman pasar keuangan," sambungnya.
Strategi pemerintah gaet investor demi tak bergantung pada utang luar negeri
Di sisi lain, pemerintah juga tengah giat menggarap pasar domestik yang menyasar investor retail dari rakyat Indonesia sendiri.
Di antaranya dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) ritel, pengembangan instrumen dan infrastruktur pasar SBN.
Upaya ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang tengah melakukan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk memperkecil dampak ekonomi dari pandemiCovid-19 disambut positif oleh investor global.
Masyita Crystallin yakin tingkat kepercayaan investor kepada Indonesia juga masih cukup tinggi.
Tidak hanya investor global, investor dalam negeri juga giat untuk berinvestasi, hal itu tercermin dari posisi dana pihak ketiga di sektor perbankan juga masih besar.
Data Bank Indonesia (BI) memperlihatkan, jumlah dana nasabah yang tersimpan di perbankan nilainya masih besar.
Hingga Agustus 2020, dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 6.228,1 triliun.
Sementara, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah masyarakat dengan simpanan di atas Rp5 miliar terus meningkat.
Sementara untuk masyarakat dengan simpanan di bawah Rp 100 juta, pertumbuhannya paling kecil dibandingkan nominal simpanan lainnya.
(TribunPalu.com, Kontan.co.id)
Masyita Crystallin menyampaikan perkembangan terakhir soal porsi utang valas per 31 Agustus 2020, masih terjaga di level 29 persen.
Itu artinya, risiko nilai tukar lebih bisa dikelola dengan baik.
Kepala Ekonom Bank DBS Indonesia Masyita Crystallin (kiri) bersama Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya (kanan) memberi paparan pada acara KATADATA Outlook 2020 yang bertemakan 'Economic and Political Outlook' di Jakarta, Selasa (26/11/2019). (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

"Sehingga kalau melihat dari sisi porsi utang pemerintah saja, dalam jangka panjang risiko fiskal kita masih terjaga karena beberapa alasan. Rata-rata utang pemerintah merupakan utang jangka panjang," ujar Masyita Crystallin saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Rabu (14/10/2020).
Ia juga menyampaikan beberapa strategi pemerintah untuk mengelola utangnya.
"Untuk memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang, kita juga melakukan strategi aktif meliputi buyback, debt switch, dan konverensi pinjaman," jelas Masyita Crystallin.
Sementara, dilihat dari profil jatuh tempo utang Indonesia juga cukup aman dengan average time maturity (ATM) yakni 8,6 tahun per Agustus 2020, dari 8,4 tahun dan 8,5 tahun pada 2018 dan 2019.
Ia menjelaskan bahwa manajemen dilakukan dengan baik dan mendalami pasar keuangan.
"Selain, secara umum tetap dilakukan manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo dan pendalaman pasar keuangan," sambungnya.
Strategi pemerintah gaet investor demi tak bergantung pada utang luar negeri
Di sisi lain, pemerintah juga tengah giat menggarap pasar domestik yang menyasar investor retail dari rakyat Indonesia sendiri.
Di antaranya dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) ritel, pengembangan instrumen dan infrastruktur pasar SBN.
Upaya ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang tengah melakukan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk memperkecil dampak ekonomi dari pandemiCovid-19 disambut positif oleh investor global.
Masyita Crystallin yakin tingkat kepercayaan investor kepada Indonesia juga masih cukup tinggi.
Tidak hanya investor global, investor dalam negeri juga giat untuk berinvestasi, hal itu tercermin dari posisi dana pihak ketiga di sektor perbankan juga masih besar.
Data Bank Indonesia (BI) memperlihatkan, jumlah dana nasabah yang tersimpan di perbankan nilainya masih besar.
Hingga Agustus 2020, dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 6.228,1 triliun.
Sementara, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah masyarakat dengan simpanan di atas Rp5 miliar terus meningkat.
Sementara untuk masyarakat dengan simpanan di bawah Rp 100 juta, pertumbuhannya paling kecil dibandingkan nominal simpanan lainnya.
(TribunPalu.com, Kontan.co.id)